Rabu, 05 Juni 2013

NGALAP BAROKAH
Dialog Publik di Masjidil Haram
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin–ulama Wahhabi kontemporer di
Saudi Arabia yang sangat populer dan kharismatik-, mempunyai seorang guru
yang sangat alim dan kharismatik di kalangan kaum Wahhabi, yaitu Syaikh
Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di. Ia dikenal dengan julukan Syaikh Ibnu Sa’di. Ia
memiliki banyak karangan, di antaranya yang paling populer adalah karyanya
yang berjudul, Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, kitab tafsir
setebal 5 jilid, yang mengikuti paradigma pemikiran Wahhabi. Tafsir ini di
kalangan Wahhabi menyamai kedudukan Tafsir al-Jalalain di kalangan kaum
Sunni.
Syaikh Ibnu Sa’di dikenal sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem. Namun
demikian, terkadang ia mudah insyaf dan mau mengikuti kebenaran, dari
manapun kebenaran itu datangnya.
Suatu ketika, al-Imam al-Sayyid ‘Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (ayahanda al-
Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) sedang duduk-duduk di serambi Masjidil
Haram bersama murid-muridnya dalam halaqah pengajiannya. Di bagian lain
serambi Masjidil Haram tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di juga duduk-duduk bersama
anak buahnya. Sementara orang-orang di Masjidil Haram sedang larut dalam
ibadah. Ada yang shalat dan ada pula yang thawaf. Pada saat itu, langit di atas
Masjidil Haram diselimuti mendung tebal yang menggelantung. Sepertinya
sebentar lagi hujan lebat akan segera mengguyur tanah suci umat Islam itu.
Tiba-tiba air hujan itu pun turun dengan lebatnya. Akibatnya, saluran air di atas
Ka’bah mengalirkan air hujan itu dengan derasnya. Melihat air begitu deras dari
saluran air di atas kiblat kaum Muslimin yang berbentuk kubus itu, orang-orang
Hijaz seperti kebiasaan mereka, segera berhamburan menuju saluran itu dan
mengambil air tersebut. Air itu mereka tuangkan ke baju dan tubuh mereka,
dengan harapan mendapatkan berkah dari air itu.
Melihat kejadian tersebut, para polisi pamong praja Kerajaan Saudi Arabia, yang
sebagian besar berasal dari orang Baduwi daerah Najd itu, menjadi terkejut dan
mengira bahwa orang-orang Hijaz tersebut telah terjerumus dalam lumpur
kesyirikan dan menyembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dengan ngalap
barokah dari air itu. Akhirnya para polisi pamong praja itu menghampiri
kerumunan orang-orang Hijaz dan berkata kepada mereka yang sedang
mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air Ka’bah itu, “Hai
orang-orang musyrik, jangan lakukan itu. Itu perbuatan syirik. Itu perbuatan
syirik. Hentikan!” Demikian teguran keras para polisi pamong praja kerajaan
Wahhabi itu.
Mendengar teguran para polisi pamong praja itu, orang-orang Hijaz itu pun
segera membubarkan diri dan pergi menuju Sayyid ‘Alwi yang sedang mengajar
murid-muridnya di halaqah tempat beliau mengajar secara rutin. Kepada beliau,
mereka menanyakan perihal hukum mengambil berkah dari air hujan yang
mengalir dari saluran air di Ka’bah itu. Ternyata Sayyid ‘Alwi membolehkan dan
bahkan mendorong mereka untuk terus melakukannya.
Menerima fatwa Sayyid ‘Alwi yang melegitimasi perbuatan mereka, akhirnya
untuk yang kedua kalinya, orang-orang Hijaz itu pun berhamburan lagi menuju
saluran air di Ka’bah itu, dengan tujuan mengambil berkah air hujan yang jatuh
darinya, tanpa mengindahkan teguran para polisi Baduwi tersebut. Bahkan ketika
para polisi Baduwi itu menegur mereka untuk yang kedua kalinya, orang-orang
Hijaz itu menjawab, “Kami tidak peduli teguran Anda, setelah Sayyid ‘Alwi
berfatwa kepada kami tentang kebolehan mengambil berkah dari air ini.”
Akhirnya, melihat orang-orang Hijaz itu tidak mengindahkan teguran, para polisi
Baduwi itu pun segera mendatangi halaqah Syaikh Ibnu Sa’di, guru mereka.
Mereka mengadukan perihal fatwa Sayyid ‘Alwi yang menganggap bahwa air
hujan itu ada berkahnya. Akhirnya, setelah mendengar laporan para polisi
Baduwi, yang merupakan anak buahnya itu, Syaikh Ibnu Sa’di segera mengambil
selendangnya dan bangkit berjalan menghampiri halaqah Sayyid ‘Alwi.
Kemudian dengan perlahan Syaikh Ibn Sa’di itu duduk di sebelah Sayyid ‘Alwi.
Sementara orang-orang dari berbagai golongan, berkumpul mengelilingi kedua
ulama besar itu. Mereka menunggu-nunggu, apa yang akan dibicarakan oleh
dua ulama besar itu.
Dengan penuh sopan santun dan etika layaknya seorang ulama besar, Syaikh
Ibnu Sa’di bertanya kepada Sayyid ‘Alwi: “Wahai Sayyid, benarkah Anda
berkata kepada orang-orang itu bahwa air hujan yang turun dari saluran air di
Ka’bah itu ada berkahnya?”
Mendengar pertanyaan Syaikh Ibn Sa’di, Sayyid ‘Alwi menjawab: “Benar.
Bahkan air tersebut memiliki dua berkah.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di terkejut dan berkata:
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Sayyid ‘Alwi menjawab: “Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam
Kitab-Nya tentang air hujan:

“Dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung berkah.” (QS. 50 : 9).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Ka’bah:
      .( & :     $ "%) .   ! " #
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali diletakkan bagi umat manusia adalah
rumah yang ada di Bekkah (Makkah), yang diberkahi (oleh Allah).” (QS. 3 : 96).
Dengan demikian air hujan yang turun dari saluran air di atas Ka’bah itu memiliki
dua berkah, yaitu berkah yang turun dari langit dan berkah yang terdapat pada
Baitullah ini.”
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh Ibnu Sa’di merasa heran dan kagum
kepada Sayyid ‘Alwi. Kemudian dengan penuh kesadaran, mulut Syaikh Ibnu
Sa’di itu melontarkan perkataan yang sangat mulia, sebagai pengakuannya akan
kebenaran ucapan Sayyid ‘Alwi: “Subhanallah (Maha Suci Allah), bagaimana
kami bisa lalai dari kedua ayat ini.”
Kemudian Syaikh Ibnu Sa’di mengucapkan terima kasih kepada Sayyid ‘Alwi dan
meminta izin untuk meninggalkan halaqah tersebut. Namun Sayyid ‘Alwi berkata
kepada Syaikh Ibnu Sa’di: “Tenang dulu wahai Syaikh Ibnu Sa’di. Aku melihat
para polisi baduwi itu mengira bahwa apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin
dengan mengambil berkah air hujan yang mengalir dari saluran air di Ka’bah itu
sebagai perbuatan syirik. Mereka tidak akan berhenti mengkafirkan dan
mensyirikkan orang dalam masalah ini sebelum mereka melihat orang seperti
Anda melarang mereka. Oleh karena itu, sekarang bangkitlah Anda menuju
saluran air di Ka’bah itu. Lalu ambillah air di situ di depan para polisi Baduwi itu,
sehingga mereka akan berhenti mensyirikkan orang lain.”
Akhirnya mendengar saran Sayyid ‘Alwi, Syaikh Ibnu Sa’di segera bangkit
menuju saluran air di Ka’bah. Ia basahi pakaiannya dengan air itu, dan ia pun
mengambil air itu untuk diminumnya dengan tujuan mengambil berkahnya.
Melihat tindakan Syaikh Ibnu Sa’di ini, para polisi Baduwi itu pun akhirnya pergi
meninggalkan Masjidil Haram dengan perasaan malu.
Kisah ini disebutkan oleh Syaikh Abdul Fattah Rawwah, dalam kitab Tsabat
(kumpulan sanad-sanad keilmuannya). Beliau murid Sayyid ‘Alwi al-Maliki dan
termasuk salah seorang saksi mata kejadian itu.
Syaikh Ibn Sa’di sebenarnya seorang yang sangat alim. Ia pakar dalam bidang
tafsir. Apabila berbicara tafsir, ia mampu menguraikan makna dan maksud ayat

Rabu, 06 Februari 2013

Rabu, 30 Januari 2013

Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' Lahir

Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' Lahir
 
Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa'ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama'ah,dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy'ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa'ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa'ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama "JAM'IYYAH NAHDLATUL ULAMA" dengan susunan pengurus HB (Hoof Bestuur)sebagai berikut:
Ra'is Akbar
:
Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari
Wakil Ra'is
:
KH. Said bin Shalih
Katib Awwal
:
KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani
:
Mas H. Alwi Abdul Aziz
A'wan
:
1. KH. Abdul Halim (Leuwimunding)
2. KH. Ridlwan Surabaya (pencipta lambang NU)
3. KH. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang. 
4. KH. Said.
5. KH. Abdullah Ubaid, Surabaya.
6. KH. Nahrawi Thahir, Malang.
7. KH. Amin, Surabaya.
8. KH. Kholil Masyhuri, Soditan, Lasem, Jateng
Musytasyar
:
1. KH. Asnawi, Kudus
2. KH. Ridlwan, Semarang.
3. KH. Nawawi, Sidogiri, Pasuruan.
4. KH. Doro Muntoho, Bangkalan.
5. KH. Ahmad Ghonaim Al Misri.
6. KH. Hambali, Kudus.

Presiden
:
H. Hasan Gipo
Penulis
:
H. Sadik alias Sugeng Yudodiwiryo
Bendahara
:
H. Burhan
Komisaris
:
H. Saleh Syamil
H. Ihsan
H. Nawawi
H. Dahlan Abd. Qohar
Mas Mangun
Kehadiran Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.

Selasa, 29 Januari 2013

SHADAQAH UNTUK MAYYIT


||| SHADAQAH UNTUK MAYYIT |||
Telah diketahui sebelumnya pada kutipan-kutipan diatas bahwa pahala shadaqah juga sampai kepada orang mati sebagaimana do’a, dan memberikan manfaat bagi orang mati. Sebagai tanbahan dari pernyataan sebelumnya maka berikut diantara hadits dan juga pendapat ‘ulama Syafi’iyah lainnya tentang bermanfaatnya shadaqah untuk orang mati. Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan :
أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
“Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, kemudian ia berkata ; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia (mendadak) namun ia belum sempat berwasiat, dan aku menduga seandainya sempat berkata-kata ia akan bershadaqah, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah atas beliau ?, Nabi kemudian menjawab ; “Iya (maka bershadaqahlah, riwayat lain)”.[1]
Ketika mengomentari hadits ini, Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan :
وفي هذا الحديث : أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها ، وهو كذلك بإجماع العلماء ، وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ، ويصح الحج عن الميت إذا كان حج الإسلام ، وكذا إذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا ، واختلف العلماء في الصواب إذا مات وعليه صوم ، فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
 “Pengertian dalam hadits ini adalah bahwa shadaqah dari mayyit bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mayyit, dan hal itu dengan ijma’ ulama, sebagaimana juga ulama ber-ijma’ atas sampainya pahala do’a dan membayar hutang berdasarkan nas-nas yang telah warid didalam keseluruhannya, dan juga sah berhaji atas mayyit apabila haji Islam, dan seperti itu juga ketika berwasiat haji sunnah berdasarkan pendapat yang ashah (lebih sah), dan Ulama berikhtilaf tentang pahala orang yang meninggal dunia namun memiliki tanggungan puasa, pendapat yang rajih (lebih unggul) memperbolehkannya (berpuasa atas namanya) berdasarkan hadits-hadits shahih tentang hal itu”. [2]

وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردي البصري الفقيه الشافعي في كتابه الحاوي عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة وإجماع الأمة فلا التفات إليه ولا تعريج عليه
“Adapun mengenai yang dikisahkan oleh Qadli dari pada qadli Abul Hasan al-Mawardi al-Bashriy al-Faqih asy-Syafi’i didalam kitabnya (al-Hawiy) tentang sebagian ahli bicara yang menyatakan bahwa mayyit tidak bisa menerima pahala setelah kematiannya, itu adalah pendapat yang bathil secara qath’i dan kekeliruan diantara mereka berdasarkan nas-nas al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan (ijma’) umat Islam, maka tidak ada toleransi bagi mereka dan tidak perlu di hiraukan. [3]
Banyak penjelasan kitab-kitab syafi’iyah yang senada dengan hal diatas. Hal yang juga perlu di garis bawahi disini adalah bahwa seseorang bisa memperolah manfaat dari amal orang lain.

CATATAN KAKI :
[1] Shahih Muslim no. 1672 ( Bab sampainya pahala shadaqah dari mayyit atas dirinya) dan no. 3083 (Bab sampainya pahala shadaqah kepada mayyit), dalam bab ini Imam Muslim mencantum beberapa hadits lainnya yang redaksinya mirip ; Mustakhraj Abi ‘Awanah no. 4701.
[2] Lihat ; Syarah Shahih Muslim [3/444] Imam Nawawi
[3] Lihat ; Syarah Shahih Muslim [1/89-90] ;

QIRA'ATUL QUR'AN UNTUK ORANG MATI

||| QIRA'ATUL QUR'AN UNTUK ORANG MATI |||
Dalam membahas masalah ini, memang ada perselisihan dalam madzhab Syafi’i yang mana ada dua qaul (pendapat) yang seolah-olah bertentangan, namun kalau dirincikan maka akan nampak tidak ada bedanya. Sedangkan Imam Tiga (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal) [1] berpendapat bahwa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada orang mati. Apa yang telah dituturkan oleh para Imam syafi’iyah yakni berupa petunjuk-petunjuk atau aturan dalam permasalahan ini telah benar-benar diamalkan dengan baik dalam kegiatan tahlilan.
Perlu diketahui, bahwa seandainya pun ada perselisihan dikalangan syafi’iyah dalam masalah seperti ini, maka itu hanyalah hal biasa yang sering terjadi ketika mengistinbath sebuah hukum diantara para mujtahid dan bukanlah sarana untuk berpecah belah sesama kaum Muslimin, dan tidak pula pengikut syafi’iyah berpecah belah hanya karena hal itu, tidak ada kamus yang demikian sekalipun ‘ulama berbeda pendapat, semua harus disikapi dengan bijak. Akan tetapi, sebagian pengingkar tahlilan selalu menggembar-gemborkan adanya perselisihan ini (masalah furu’), mereka mempermasalahkan yang tidak terlalu dipermasalahkan oleh syafi’iyah dan mereka mencoba memecah belah persatuan umat Islam terutama Syafi’iyah, dan ini tindakan yang terlarang (haram) dalam syariat Islam. Mereka juga telah menebar permusuhan dan melemparkan banyak tuduhan-tuduhan bathil terhadap sesama muslim, seolah-olah itu telah menjadi “amal dan dzikir” mereka sehari-hari, tiada hari tanpa menyakiti umat Islam. Na’udzubillah min dzalik. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sangat benci terhadap mereka yang suka menyakiti sesama muslimin. Berikut diantara qaul-qaul didalam madzhab Syafi’iyah yang sering dipermasalahkan : Imam an-Nawawi menyebut didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها ، وقال جماعة من أصحابنا : يصله ثوابها ، وبه قال أحمد بن حنبل
“Dan yang masyhur didalam madzhab kami (syafi’iyah) bahwa bacaan al-Qur’an pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan jama’ah dari ulama kami (Syafi’iyah) mengatakan pahalanya sampai, dengan ini Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat”. [2]
Dihalaman lainnya beliau juga menyebutkan :
وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها إلى الميت وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إلى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن بن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار إلى اختيار هذا، وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع
“Adapun pembacaan al-Qur’an, yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashabusy syafi’i (‘ulama syafi’iyah) mengatakan pahalanya sampai kepada mayyit, dan pendapat kelompok-kelompok ulama juga mengatakan sampainya pahala seluruh ibadah seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan selain yang demikian, didalam kitab Shahih al-Bukhari pada bab orang yang meninggal yang memiliki tanggungan nadzar, sesungguhnya Ibnu ‘Umar memerintahkan kepada seseorang yang ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan shalat supaya melakukan shalat atas ibunya, dan diceritakan oleh pengarang kitab al-Hawi dari ‘Atha’ bin Abu Ribah dan Ishaq bin Ruwaihah bahwa keduanya mengatakan kebolehan shalat dari mayyit (pahalanya untuk mayyit). Asy-Syaikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad Hibbatullah bin Abu ‘Ishrun dari kalangan syafi’iyyah mutaakhhirin (pada masa Imam an-Nawawi) didalam kitabnya al-Intishar ilaa ikhtiyar adalah seperti pembahasan ini. Imam al-Mufassir Muhammad al-Baghawiy dari anshabus syafi’i didalam kitab at-Tahdzib berkata ;  tidak jauh (tidaklah melenceng) agar memberikan makanan dari setiap shalat sebanyak satu mud, dan setiap hal ini izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah qiyas atas do’a, shadaqah dan haji, sesungguhnya itu sampai berdasarkan ijma’.” [3]
Juga dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab :
واختلف العلماء في وصول ثواب قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل. وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل، والمختار أن يقول بعد القراءة: اللهم أوصل ثواب ما قرأته، والله أعلم اه
“’Ulama’ berikhtilaf (berselisih pendapat) terkait sampainya pahala bacaan al-Qur’an, maka yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i dan sekelompok ulama syafi’i berpendapat tidak sampai, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, sekelompok ‘ulama serta sebagian sahabat sy-Syafi’i berpendapat sampai. Dan yang dipilih agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.[4]
Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni :
تنبيه: كلام المصنف قد يفهم أنه لا ينفعه ثواب غير ذلك كالصلاة عنه قضاء أو غيرها، وقراءة القرآن، وها هو المشهور عندنا، ونقله المصنف في شرح مسلم والفتاوى عن الشافعي - رضي الله عنه - والأكثرين، واستثنى صاحب التلخيص من الصلاة ركعتي الطواف
“Tahbihun : perkataan mushannif sungguh telah dipahami bahwa tidak bermanfaat pahala selain itu (shadaqah) seperti shalat yang di qadha’ untuknya atau yang lainnya, pembacaan al-Qur’an, dan yang demikian itu adalah qaul masyhur disisi kami (syafi’iyah), mushannif telah menuqilnya didalam Syarhu Muslim dan al-Fatawa dari Imam asy-Syafi’i –radliyallahu ‘anh- dan kebanyak ulama, pengecualian shahiu Talkhis seperti shalat ketika thawaf ”.[5]
Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i didalam penjelasan tafsir QS. An-Najm ayat 39 juga menyebutkan pendapat Imam asy-Syafi’i :
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛
“Dan dari ayat ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah beristinbath (melakukan penggalian hukum), demikian juga orang yang mengikutinya bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai menghadiahkan pahalanya kepada mayyit”. [6]
Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Madzhab Syafi’i ada dua pendapat yang seolah-olah berseberangan, yakni ;
Pendapat yang menyatakan pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai, ini pendapat Imam asy-Syafi’i, sebagian pengikutnya ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ‘ulama lainnya) sebagai pendapat masyhur (qaul masyhur).
Pendapat yang menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an, ini pendapat ba’dlu ashhabis Syafi’i (sebagian ‘ulama Syafi’iyah) ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ulama lainnya) sebagai pendapat/qaul mukhtar (pendapat yang dipilih/ dipegang sebagai fatwa Madzhab dan lebih kuat), pendapat ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam lainnya.

CATATAN KAKI :
[1] Lihat : Mughni Muhtaj lil-Imam al-Khatib as-Sarbini [4/110] ;
وحكى المصنف في شرح مسلم والأذكار وجها أن ثواب القراءة يصل إلى الميت كمذهب الأئمة الثلاثة، واختاره جماعة من الأصحاب منهم ابن الصلاح، والمحب الطبري، وابن أبي الدم، وصاحب الذخائر، وابن أبي عصرون، وعليه عمل الناس، وما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن، وقال السبكي: والذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بها القارئ نفع الملدوغ نفعته، وأقره النبي - صلى الله عليه وسلم - بقوله: «وما يدريك أنها رقية» وإذا نفعت الحي بالقصد كان نفع الميت بها أولى اهـ.
“dan diceritakan oleh mushannif didalam Syarh Muslim dan al-Adzkar tentang suatu pendapat bahawa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit, seperti madzhab Imam Tiga (Abu Hanifah, Maliki dan Ahmad bin Hanbal), dan sekelompok jama’ah dari al-Ashhab (ulama Syafi’iyyah) telah memilih pendapat ini, diantaranya seperti Ibnu Shalah, al-Muhib ath-Thabari, Ibnu Abid Dam, shahib ad-Dakhair juga Ibnu ‘Abi Ishruun, dan umat Islam beramal dengan hal tersebut, apa yang oleh kaum Muslimin di pandang baik maka itu baik disisi Allah. Imam As-Subki berkata : dan yang menujukkan atas hal tersebut adalah khabar (hadits) berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila di tujukan (diniatkan) pembacaannya niscaya memberikan  manfaat kepada mayyit dan meringankan (siksa) dengan kemanfaatannya. Apabila telah tsabit bahwa surah al-Fatihah ketika di tujukan (diniatkan) manfaatnya oleh si pembaca bisa bermanfaat bagi orang yang terkena sengatan, sedangkan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam taqrir atas kejadian tersebut dengan bersabda : “Dari mana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah adalah  ruqiyyah ?”, jika bermanfaat bagi orang hidup dengan mengqashadkannya (meniatkannya) maka kemanfaatan bagi mayyit dengan hal tersebut lebih utama. Selesai”.
I’anathuth Thalibin lil-Imam al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/258] ;
وحكى المصنف في شرح مسلم والأذكار وجها أن ثواب القراءة يصل إلى الميت، كمذهب الأئمة الثلاثة، واختاره جماعة من الأصحاب، منهم ابن الصلاح، والمحب الطبري، وابن أبي الدم، وصاحب الذخائر، وابن أبي عصرون وعليه عمل الناس وما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وقال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت وتخفيف ما هو فيه، نفعه، إذ ثبت أن الفاتحة لما قصد بها القارئ نفع الملدوغ نفعته، وأقره النبي - صلى الله عليه وسلم - بقوله: وما يدريك أنها رقية؟ وإذا نفعت الحي بالقصد كان نفع الميت بها أولى اه (قوله: لا يصل ثوابها إلى الميت) ضعيف (وقوله: وقال بعض أصحابنا يصل) معتمد
“...... (frasa, pahala bacaaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit) merupakan qaul yang lemah (frasa ; dan sebagian ashhab kami –syafi’iyyah- mengatakan sampai pahalanya kepada mayyit ) merupakan qaul yang kuat atau mukmatad”.
Tuhfatul Habib (Hasyiyah al-Bujairami) [2/302] :
وقد نقل الحافظ السيوطي أن جمهور السلف والأئمة الثلاثة على وصول ثواب القراءة للميت
“dan sungguh al-Hafidz As-Suyuthi telah menaqal bahwa Jumhur Salafush Shaleh dan Aimmatuts Tsalatsah (Imam Tiga : Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal) menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an untuk mayyit”.
[2] Lihat : Syarah Shahih Muslim [7/90].
[3] Lihat : Syarah Shahih Muslim [1/90].
[4] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522] ; al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi hal. 165.
[5] Lihat : Mughni Muhtaj lil-Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini (4/110).
[6] Lihat : Tafsirul Qur’an al-‘Adzim lil-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i [7/431].